JAVA SCRIPT

Sabtu, 18 April 2015

CERPEN JUDUL "Malaikat Tanpa Mata"

Malaikat Tanpa Mata

Kehidupannya sekarang hanyalah malam dan akan selalu malam. Kegelapan, ketakutan, seakan sudah menjadi teman. 7 tahun telah berlalu dia hidup dalam kelam dan dalam gelap, yang dia tahu sekarang bukanlah keindahan dunia, melainkan keramaian dunia. Sejak kejadian itu, dia ditinggalkan teman-temannya bahkan sahabat-sahabatnya pun perlahan-lahan menjauh dan menghilang. Namun dia tidak pernah marah dengan semua yang menimpa dirinya karena tak perlu ada yang disesali dan disalahkan.
“Dio… makan dulu nak!!” terdengar suara lembut tanpa rupa yang menyadarkan Dio dalam lamunannya. “Iya Mah sebentar” Jawab Dio yang kemudian berdiri dengan dibantu sebatang tongkat hitam. Karena Dio terburu-buru akhirnya dia jatuh karena lantainya yang masih licin, “Haha dasar buta!” Terdengar suara cemoohan.
“Adit, bantu kakakmu berdiri Nak”
“Apa harus tiap hari aku membantu si buta ini?”
“Adit kamu ini kenapa sih? Ini Kakak mu!!”
Ibu memarahi Adit sambil berlari kecil mendekati Dio.
“Tak apa Mah, udah ya jangan marahin Adit lagian kan ini salah Dio juga yang kurang hati-hati tadi” Ucap Dio seraya meraba-raba lantai untuk mencari tongkatnya, Dan kemudian Ibu membantunya berdiri dan menuntunnya ke meja makan.
“Udah ya Kak jangan dimasukin hati omongan Adik kamu tadi!”
“Iya gak papa Mah, Dio enggak masukin hati kok perkataan Adit”
Kemudian Ibu mengambil piring dan lauknya untuk Dio.
“Maaf ya Mah Dio ngerepotin Mamah terus!”
“Kamu ngomong apa sih Kak, ini kan udah kewajiban Mamah juga, udah ah makan gih!”
“Iya makasih ya Mah”
Dan mereka pun menikmati makan malam bersama.
Setelah selesai makan, Dio pun langsung ke kamar sementara Ibu membereskan meja makan dan menunggu Ayah pulang kerja. *Teeeeet* terdengar suara klakson dari depan rumah Ibu pun langsung bergegas membukakan pintu.
Seperti biasanya setiap pulang kerja Ayah langsung mandi, Ibu pun menyiapkan kopi untuk Ayah. Dan setelah Ayah selesai mandi Ayah langsung menghampiri Ibu yang sedang duduk di samping tempat tidur.
“Ini kopinya Yah” Dengan raut wajah yang sedih
“Makasih Mah, kok Mamah terlihat sedih, enggak kayak biasanya?”
“Enggak apa-apa kok Yah, Mamah cuma lagi kepikiran sikap Adit kepada Dio”
Ayah pun meminum kopi dan menarik nafas, lalu duduk di sebelah Ibu.
“Maklumin aja Mah, suatu saat Adit juga pasti mengerti kok”
“Tapi Mamah enggak tega kalo Adit terus-terusan menghina Dio, Yah”
“Iya, tapi Ayah tau betul Dio itu anak yang tegar”
“Iya Mamah tau, tapi Mama gak bisa melihat sikap Adit yang seperti itu”
“Ya sudah Mah semuanya akan baik-baik saja kok, sudah malam Mah sebaiknya kita istirahat”
Ayah mengecup kening Ibu, lalu mereka pun beristirahat.
Pagi pun menjelang Dio pun mendengar suara seseorang membuka jendela.
“Bangun Kak sudah siang!”
“Iya Mah udah bangun kok”
Ibu pun memberi handuk kepada Dio.
“Mandi Kak biar seger”
“Iya Mah makasih ya Mah”
“Iya kak kalau sudah selesai mandi sarapan sama-sama yaa”
“Oke deh Mah”
Ibu pun membereskan tempat tidur Dio, setelah itu Ibu menghampiri Ayah dan Adit di meja makan.
“Mah aku makan duluan ah abis lama nunggu kak Dio mandi nanti aku telat”
“Ya sudah gak papa”
“Ayah makan duluan aja yah nanti Dio sarapan sama Mamah kok”
“Ayo Yah makan duluan aja nanti aku telat sekolahnya, Ayah juga entar telat loh kan udah jam setengah tujuh Yah”
Ayah hanya tersenyum sambil menyuap sesendok nasi
Setelah Adit dan Ayah selesai makan mereka pun berangkat, Dio yang sedang siap-siap untuk sarapan bersama mendengar suara mobil, dan dia tahu bahwa itu suara mobil Ayahnya, dia langsung bergegas ke meja makan.
“Mah, Ayah sama Adit udah berangkat ya?”
“Iya Kak mereka sudah berangkat” Jawab Ibu sambil menyiapkan piring untuk Dio.
Dio pun langsung duduk dengan wajah yang penuh penyesalan.
“Loh kamu kenapa, kok mukanya kusut begitu?”
“Gak papa kok Mah, Dio nyesel aja gak bisa sarapan bareng sama Ayah dan Adit”
“Udah udah gak papa kok, kan masih ada besok Kak. Makan gih”
Mereka melanjutkan sarapan dengan sesekali ngobrol. Dio yang tampak kurang semangat dan hanya mengaduk-ngaduk nasinya saja, hanya tiga suapan saja nasi yang masuk ke mulut Dio.
“Udah ya Mah, Dio kenyang”
“Itu kan masih banyak Kak, makan lagi dong”
“Beneran Mah Dio udah kenyang”
“Iya sudah gak papa, tapi entar makan lagi ya”
“iya Mah”
Kemudian Dio beranjak dari meja makan dengan dibantu sebatang tongkat menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar Dio langsung duduk di samping tempat tidur tangannya memegang erat tongkat yang selama ini selalu menemaninya, selalu menuntunya dalam gelap, dan selalu melindunginya. Batinnya sakit ketika dia mendengar kata “teman” matanya berlinang air mata yang kemudian jatuh membasahi pipinya. “Kalian dimana?” Hatinya bertanya-tanya. “Apa kalian gak rindu padaku? Aku disini kesepian, apa kalian bisa merasakan apa yang saat ini aku rasakan?” Hatinya terus bertanya-tanya.
Tangisannya semakin menjadi, air matanya semakin banyak yang menetes, diletakan tongkatnya di lantai. Dio berbaring di tempat tidur hatinya masih bertanya-tanya dengan air mata yang terus keluar, *bukk* Dio memukul tempat tidur berkali-kali, semakin lama pukulannya semakin kencang.
“Dio, kamu kenapa Nak?” Ibu bertanya bingung.
Dio kaget dan tak menyangka kalau suara pukulannya terdengar sampai keluar kamar. Dengan cepat Dio langsung terbagun dan mengusap air matanya kemudian berkata. “Gak apa-apa Mah, Dio cuma lagi iseng aja tadi, hehe”
“Oh gitu toh, kiarin ada apa. Mamah tinggal dulu ya”
“Iya Mamah”
Ibu pun pergi, suara langkah kakinya masih terdengar jelas dan perlahan-lahan menghilang, *bug* pintu sudah tertutup. Dio pun berbaring lagi, hatinya kini sudah tenang tidak lagi bertanya-tanya. Dio sudah berjanji kalau dia harus kuat dia akan melakukan apa saja untuk melindungi adiknya, bahkan nyawanya pun ia rela korbankan demi adiknya. “Aku harus lebih kuat, gak boleh ada yang tau kalo aku serapuh ini!” ujarnya dalam hati dan kemudian Ia terlelap tidur.
*kreeeket* terdengar seseorang membuka pintu Dio terbangun dan segera bangkit dari tempat tidur.
“Bangun Nak udah siang, kita makan yuk. Kan tadi sarapannya cuma sedikit” Ajak Ibu
“Emang Adit udah pulang Mah?
“Udah kok, baru aja dia nyampe rumah”
“Makannya bareng Adit ya Mah”
“Iya, entar Adit Mamah yang ajak”
“Ya udah, Mamah duluan aja entar Dio nyusul”
Ibu langsung menglus-ngelus kepala Dio dan kemudian pergi. Dio meraba-raba lantai mencari tongkatnya Dio berdiri dan bergegas menuju meja makan.
“Adit, nak makan yuk udah ditunggu kakak mu nih”
“Males ah Mah, kalo mau makan, makan duluan aja lagian entar teman aku mau ke sini”
“Tapi kakak mu udah nungguin nak”
“Males Mah, lagian suruh siapa sih nungguin”
“Adit… kalo ngomong yang sopan ya Dio Kakakmu!”
“Iya si buta ini kakakku dan anak emasnya Mamah dan Ayah iya kan?”
Ibu menjawab dengan nada keras,
“Adit… kamu ini dasar…”
Dio langsung memotong perkataan Ibu.
“Mamah, udah Mah gak papa, kita makan berdua aja”.
“Kamu yang sabar ya Nak, Adik kamu emang kayak gitu orangnya” Hibur Ibu.
Dio tersenyum dan melanjutkan makan siangnya. Suap demi suap masuk ke mulut Dio hingga suapan terakhir.
Semakin siang cuacanya semakin panas, hawa panas mulai terasa Dio menyalakan kipas angin tapi sia-sia saja. Keringat yang mulai bercucuran memaksa Dio untuk pergi ke depan rumah mencari angin segar dengan dibantu tongkat kesayangannya Dio beranjak dari kamarnya.
Dio duduk di sebuah kursi kayu dan kemudian bersandar, tangannya terus mengipasi wajah dan badannya, “uhhh adeemm” ujarnya, setelah angin sepoi-sepoi berhembus menerpa tubuhnya.
“Assalamualaikum”
Terdengar suara beberapa anak mengucapkan salam, Lalu Dio menjawab.
“Wa’alaikum salam”
“Maaf Kak, Aditnya ada?”
“Oh iya iya ada kok, sebentar ya Kakak panggilin dulu”
Dio beranjak dari kursi, dengan dibantu tongkat kesayangannya dia berjalan menuju kamar Adit.
*tok tok tok* Dio menetuk pintu kamar Adit dan berkata.
“Adit, teman-teman kamu udah nyampe Dik”
Beberapa saat kemudian Adit membuka pintu dan langsung memarahi Dio dengan nada yang sangat kesal.
“Heh buta, ngapain sih lu di luar? Bikin malu gua aja tau gak?”
Dio kaget luar biasa, Ia menjawab dengan nada penuh penyesalan.
“Maaf Dek, tadi kakak lagi ngadem soalnya di rumah panas banget”
“Alah alasan saja, awas minggir sana”
Adit mendorong Dio sampai tersungkur di lantai, Dio meraba-raba lantai mencari tongkatnya. Dan Adit pun bergegas menemui teman-temannya, tongkat Dio pun ditendangnya. Dio terus meraba-raba lantai dan tak sengaja Ia mendengar percakapan Adit dengan teman-temannya.
“Heii bro, udah lama? Duduk lah!”
“Baru sampe kok, oiya tadi itu Kakak lu Dit?”
“Ohh itu, bukan dia anak sodara Mamah gua”
“Oh kirain, ha ha ha”
Mendengar pernyataan Adit tadi Dio sangat kaget sekali tubuhnya tiba-tiba lemas nafasnya sesak, Tapi dia sudah berjanji akan lebih kuat lebih tegar, kemudain ia mencoba berdiri dengan dibantu dinding rumah, Ia berjalan selangkah demi selangkah menuju kamarnya.
Semakin hari kondisi Dio semakin melemah, namun tak ada satu orang pun yang tahu akan kondisinya itu. Ia berusaha menyembunyikan semua yang menyiksa dirinya dengan senyuman dan kesabaran, Ia tidak mau terus-menerus menyusahkan orangtua dan Adik yang sangat Ia cintai karena Ia yakin semuanya akan baik-baik saja.
Setiap malam Dio selalu berdo’a kepada Tuhan untuk selalu melindungi keluarganya terlebih lagi adiknya. Pagi hari setelah sarapan Dio mendengar kalo Adiknya akan mengikuti perlombaan musik di sekolahnya dan Dio sangat senang mendengarnya, Dia berharap adiknya mendapatkan apa yang dia mau termasuk menjadi juara satu dalam perlombaan itu, Dio yakin adiknya pasti akan mendapatkan juara satu bukan tanpa alasan memang karena bagi Dio, Adit adalah seorang musisi kecil yang luar biasa melalui tangan-tangan ajaibnya Adit bisa menciptakan nada yang sangat indah, ditambah lagi dengan suara emasnya yang menjadikan Adit calon musisi kecil yang sempurna. Setiap malam sebelum tidur Dio selalu berusaha menyempatkan untuk mendengar suara emas adiknya yang diiringi alaunan nada yang indah.
“Mah, Yah, Besok Dio mau ikut lomba musik di sekolah. Mamah sama Ayah dateng ya”
Ayah pun menjawab dengan sangat antusias, “oiya? Jam berapa Dit? Mamah dan Ayah pasti dateng kok, iya kan Mah?”
Mamah tersenyum dan menjawab.
“Iya dong, pasti kami datang”
Dio berkata dengan nada yang sangat antusias pula, “Kakak juga ikut ya Dek?”
“Jangan ikut ah, lagian mau ngapain si? Ngeliat juga enggak yang ada entar malah malu-maluin lagi”
Dio yang tadinya sangat senang langsung berubah jadi sedih, Ia menundukan wajahnya dan langsung memakan sesuap nasi.
“Adit.. kamu gak boleh gitu Nak, walau bagaimana pun juga Dio kan Kakak kamu. Dio berhak ikut Nak” Ibu berkata dengan nada yang agak kesal.
Kemudian Dio menjawab sambil berusaha tersenyum, “Udah Mah udah gak papa kok tadi Dio cuma bercanda kok”
“Bagus deh kalo cuma bercanda” Ucap Adit.
Sarapan pun dilanjutkan dengan sesekali dibarengi canda tawa, namun Dio tidak berbicara lagi Ia hanya tersenyum dan sesekali tertawa kecil, Dio ingat pada janjinya kalau dia harus tegar.
Keesokan harinya Dio yang sedang melamun dikagetkan dengan suara teriakan Adit dari luar rumah, “Aku menang” Dio pun langsung bergegas untuk menemui Adit dan mengucapkan selamat.
“Selamat ya Dek, akhirnya kamu menang” Ucap Dio sambil menjulurkan tangan.
Namun Adit tak menghiraukan ucapan kakaknya itu dia langsung pergi ke dalam rumah untuk menyimpan pialanya. Dio tetap tersenyum dan langsung kembali lagi ke kamarnya, dalam hatinya Dio berkata “Andai saja mataku ini bisa melihat, pasti aku akan sangat senang sekali melihat apa yang telah diraih Adikku”.
Siang itu matahari amat sangat terik dan membuat Dio tak bisa lagi menahan dahaga nya, rasa haus yang Ia rasakan memaksa Ia untuk mengambil segelas air, Ia bangkit dari tempat tidur berjalan dengan meraba-raba apa yang ada di sekitarnya untuk menuju dapur, namun sebelum Ia sampai di dapur tiba-tiba *prakkk* sesuatu tak sengaja Ia jatuhkan, Ia takut dan sangat ketakutan.
Adit yang sedang di kamarnya dikagetkan dengan suara tersebut, segera dia langsung berjalan muju suara tersebut, dan tak lama kemudian dia menemukan seseorang di lantai sedang berusaha meraba-raba barang yang sangat Ia banggakan hancur berntakan. Seketika Adit pun marah besar, Dia mencaci maki Kakaknya sambil berjalan mendekatinya.
“Ya ampun piala gua, dasar buta! Kalo gak bisa ngeliat jangan so so’an bolak-balik, lo liat kan sekarang piala gua jadi ancur begini, lo ngiri ama gua hah?”
Dio pun menjawab dengan nada yang sangat menyesal, “Ma.. ma..af Dek, Kakak gak sengaja tadi mau ngambil air”
Adit yang sudah terbawa emosi tinggi langsung membangunkan Kakaknya dan kemudian mendorongnya. “Alasan saja lo”
*Bukkkk* Suara Dio terjatuh terdengar sangat jelas dan seketika Dio pun tak sadarkan diri.
Ayah dan Ibu yang sedang asyik-asyiknya ngobrol dikagetkan dengan kegaduhan di dapur, lantas mereka langsung bergegas kedapur, dan kemudian Ibu histeris melihat Dio yang terkapar di lantai dengan darah yang keluar dari kepala dan hidungnya.
“Ya Allah Adit.. Apa yang udah kamu lakukan? Kenapa kamu setega ini?”
Adit menjawab dengan sangat ketakutan.
“ma.. maa. mmaaf Mah tadi Adit lagi emosi dan gak sengaja Adit dorong”
Ayah langsung mendekati Dio untuk menggendong Dio ke mobil, dan berkata. “Udah jangan berdebat, lebih baik kita bawa Dio dulu ke rumah sakit, Adit bantu Ayah angkat Kak Dio cepat”
1 jam lebih Ibu, Ayah, dan Adit menunggu Dokter keluar dari ruang UGD. Kemudian seseorang memakai baju putih keluar dari ruang UGD dengan wajah tertunduk, belum juga Ayah betanya dokter berkata terlabih dahulu “Maaf kami sudah berusaha sebisa kami tapi Tuhan berkehendak lain”, mendengar ucapan dokter tadi Ibu menangis histeris dan hampir tak sadarkan diri, lalu Ayah memapah Ibu menuju tempat dimana Dio menghembuskan nafas terakhirnya.
Sementara Adit langsung terkulai lemas sambil memukul-mukul tembok, air mata penyesalan semakin deras membasahi pipinya, “Maafin gua kak. Maafin gua” dia berkata sambil berjalan masuk mengikuti orangtuanya, Ibu yang melihat Adit langsung memarahinya dan tamparan pun bersarang di pipi kiri Adit,
“Kamu ini… Adik yang tidak tau malu, tidak tau diri. Seharusnya kamu tidak melakukan perbuatan sekejam ini kepada seseorang yang sangat menyangimu sampai-sampai dia rela mengorbankan matanya untukmu. Untuk malaikat kecilnya, supaya malaikat kecilnya bisa melihat indahnya dunia, tapi apa balasanmu?”
Ibu langsung terkulai lemas dan Ayah dengan sigap memegang Ibu yang hampir terjatuh,
“Sabar Ibu, sabar kita bisa bicarakan ini baik-baik”
Mendengar perkataan Ibunya tadi, Adit seketika terdiam hatinya serasa tersambar petir, perasaan bersalah, menyesal bercampur aduk dalam hatinya.
Setelah 10 hari kematian Kakaknya, Adit lebih sering melamun dan mengurung diri di kamar, sementara Ibu masih bersedih karena tidak percaya anak yang sangat Ia cintai telah pergi, dan Ayah selalu menasehati Ibu untuk bersabar dan berdo’a.
Dari dapur Adit melihat Ibunya sedang duduk melamun dengan wajah yang begitu sangat bersedih, kemudian Adit memberanikan diri untuk mendekti Ibunya, seraya memegang tangan Ibunya Adit berkata.
“Maaf ya Mah, Adit sangat menyesal Adit gak mau kalo Mamah marah sama Adit”
Lalu Ibu berkata.
“7 tahun yang lalu mobil yang kita tumpangi mengalami kecelakaan, Ibu dan Ayah hanya mengalami cedera ringan, sementara Dio terluka parah dibagian punggung tertusuk kaca mobil karena ingin menyelamatkanmu, dan kamu pingsan, merahnya darah menutupi semua wajahmu dengan mata yang tertusuk pecahan kaca”
Ibu menarik nafas panjang dan mengeluarkannya, kemudian melanjutkan ceritanya. Sementara Adit tak kuasa menahan air matanya.
“Ibu dan Ayah ketakutan melihat kondisi kalian berdua, tapi setelah beberapa hari kami bisa bernafas lega karena mendengar Dio baik-baik saja, tapi kami tidak menyangka kalau kondisi kamu lebih buruk daripada Dio. Kedua matamu harus diangkat karena sudah rusak parah dan kamu divonis tidak bisa melihat lagi, Kakakmu yang mendengarnya sangat bersedih dan tak henti-hentinya menangis, dia memaksa Ibu dan Ayah untuk mendonorkan matanya untuk mu. Tentu saja kami menolak tapi Dio terus memaksa hingga kami luluh dan mengabulkannya”.
Adit yang mendengar pernyataan menangis tanpa henti, kemudain Ia berkata.
“Maafin Adit Mah, Maafin Adit”
Mamah kemudian memeluk Adit dan seraya berkata.
“Tak usah minta maaf lagi Nak, Mamah dan Ayah sudah memaafkan”
Adit bisa sedikit tersenyum dan bernafas lega mendengar ucapan Ibunya.
Malam itu Adit berniat tidur di kamar Kakaknya, Ia berjalan dari kamarnya menuju kamar Kakaknya. Kemudian dia duduk di samping tempat tidur, dan melihat sekelilingnya, terlihat di dekat meja sebuah tongkat hitam dengan selembar kertas di bawahnya. Dengan cepat Ia langsung mengambil tongkat itu dan membaca isi kertas yang sangat membuat Ia penasaran.
“Tuhan telah mengambil mataku, tapi aku tidak pernah marah,
Teman-temanku semuanya menjauhiku, tapi aku juga tidak marah
Aku tidak pernah menyesal dengan apa yang sudah terjadi
Dan aku akan menyesal kalau malaikat kecilku hidup dalam kegelapan
Sakit hati Kakak Dik, kalau kamu memarahi Kakak
Sakit hati Kakak ketika kamu tidak mengakui Kakak di depan teman-temanmu
Tapi Kakak tidak pernah marah
Kakak tidak pernah membencimu
Kakak akan selalu menyayangimu
Sampai saat ini, saat kamu membaca surat ini
Tetaplah tersenyum, Malaikat kecilku”
Surat dari Kakaknya membuat Adit tidak berdaya, Adit tak henti-hentinya memarahi dirinya sendiri, dan menyesali apa yang sudah terjadi. Adit merasa hina sekali karena dia sangat tak pantas dipanggil Malaikat, dia merasa kalau dirinya itu sangat tak berguna, bahkan dia merasa bahwa dia tak pantas dipanggil Adik.
Beberapa saat Adit terdiam dan kemudian menarik nafas, menenangkan diri. Dia bejanji akan menjadi lebih baik dan merubah sifatnya, dia ingin membuat Kakaknya bangga dan selelu tersenyum di alam sana. Seraya tersenyum Adit berkata, “Aku berjanji akan lebih baik lagi, akan berusaha membuat semuanya bangga, dan akan berusaha membuat kamu bangga, Kakakku, Kaulah Malaikatku, Malaikat tanpa mata”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar